Satu lagi tradisi di Bali yang
sempat aku dokumentasikan dan ikuti dari awal sampai akhir. Tradisi yang cukup
unik ini dilakukan oleh masyarakat desa adat Kedonganan, Jimbaran, Bali dan dikenal
dengan Mebuug-buugan.
|
Para peserta berkumpul di LPD Desa sebelum acara dimulai |
|
Banyak dari peserta Mebuug-buugan yang berkreasi membuat bentuk dari lumpur |
|
Seorang anak melumuri badanya dengan lumpur |
|
Seorang anak kecil terkena lumpur yang dioleskan dipipi |
Tradisi yang dilakukan sehari
setelah hari raya Nyepi ini sudah cukup lama tidak dilakukan oleh masyarakat
setempat dan baru dilakukan lagi beberapa tahun kemarin. Tepatnya diantara
tahun 1942-1945 keberadaan tradisi ini Mebug-bugan sudah berakar dan menjadi
sesuatu yang ditunggu masyarakat. Pada rentang tahun tersebut tradisi ini rutin
dilakukan oleh masyarakat, sampai terjadinya peristiwa tahun 1965 dimana
masyarakat yang diduga dan terduga komunis Indonesia dibantai, pada saat itu
juga tradisi ini tidak dilakukan lagi oleh masyarakat.
Dimulai sekitar pukul 3 sore,
masyarakat Kedongan berkumpul di LPD desa adat Kedongan, dari tempat ini mereka
berjalan ke kawasan hutan mangrove untuk melumuri badan mereka dengan lumpur.
Setelah itu dilanjutkan dengan membersihkan diri di pantai.
|
Lumpur yang digunakan dikawasan hutan mangrove Jimbaran |
|
Seorang anak yang badannya sudah dipenuhi lumpur |
|
Seorang anak dikepung oleh teman-temannya yang dipenuhi lumpur |
|
Say cheseeee! |
Semua bergembira dan
bersenang-senang selama menjalankan tradisi, mereka saling berinteraksi satu
sama lain. Walaupun bagian tubuh kadang terkena lemparan lumpur, tradisi ini
tetap dijalankan dengan suasana yang menggembirakan.
Mebuug-buugan mempunyai arti sebuah interaktivitas dengan
menggunakan tanah/lumpur (buug) sebagai media. Tradisi ini adalah bentuk ucapan
syukur atas kesuburan yang telah dilimpahkan pada bumi pertiwi sebagai tempat
manusia dan semua makhluk hidup berkembang biak. Juga sebagai visualisasi dari
belenggu kekuatan Bhuta dan keterbebasan manusia dari kekuatan Bhuta itu
sendiri.
|
Tampak beberapa anak sedang membentuk rambut temannya |
|
Semua peserta bersembahyang sebelum membersihkan diri |
|
Berdoa semoga menjadi pribadi yang baru setelah merayakan hari raya Nyepi |
|
Para peserta berlari menuju pantai untuk membersihkan diri |
Manusia divisualisasikan dengan
balutan tanah atau lumpur sebagai perwujudan dari Bhuta atau kekotoran yang
melekat pada jiwa manusia. Untuk dapat menghilangkan kekuatan Bhuta dalam buana
alit (badan kasar manusia), manusia memohon kepada kekuatan laut (Segara)
sebagai penyempurnaan (Pemarisudha).
Tradisi ini dilakukan oleh semua
masyarakat desa adat Kedonganan baik pria, wanita, baik dewasa ataupun
anak-anak.
Lumpur yang digunakan juga tidak sembarangan. Harus sesuai dengan yang sudah dinstruksikan oleh tetua adat dan tidak boleh menggunakan lumpur lainnya.
|
Seorang anak bermain membenamkan dirinya di pantai |
|
Para peserta bersenang-senang dengan ombak pantai |
|
Warna air pantai berubah menjadi kecoklatan begitu diserbu oleh ratusan peserta Mebuug-buugan |
|
Seorang bapak membantu membersihkan lumpur yang menempel pada tubuh anaknya |
Saranku jika ingin menyaksikan
Mebuug-buugan sebaiknya mencari tempat yang agak aman, karena terkadang kalau
tidak waspada dan tempat mendokumentasikan atau menonton kurang mendukung bisa
terkena lemparan lumpur.
Seperti yang aku alami kemarin, karena tempat kurang
mendukung dan kurang informasi gimana proses tradisi ini dilakukan jadi badan
dan kamera beberapa kali terkena lemparan lumpur. Balik dari motret serasa
habis dikirim reportase ke medan perang, badan penuh lumpur haha.
|
Suasana pantai di Jimbaran yang mendadak ramai oleh peserta Mebuug-buugan |
|
Kehadiran peserta di pantai menjadi daya tarik bagi wisatawan yang saat itu berada di pantai |
|
Raut wajah gembira dari seorang bapak setelah membersihkan diri di pantai |
Semoga kedepannya makin banyak
kesempatan buat dating dan mendokumentasikan tradisi ataupun adat Bali.
Cheers,
Comments
Post a Comment