Perang Pandan: Persembahan Untuk Sang Dewa Perang

Gimana nih kabarnya sob? Kerjaan lancar? Kehidupan berjalan seperti adanya kan? semoga semua makhluk hidup di bumi berbahagia dan baik2 saja yes. #BasaBasiNgehek hahaha.

Upacara sebelum perang pandan dimulai


Like a boss!
Postingan kali ini tentang tradisi atau adat dari Desa Tenganan yang terletak di kecamatan Karangasem sekitar 70 kilometer dari kota Denpasar. Tradisi ini dikenal dengan nama Perang Pandan, bisa juga disebut Mekare Kare. Acara ini sudah menjadi tradisi desa Tenganan turun temurun, bahkan sampai menjadi daya tarik wisatawan untuk hadir dan menyaksikan acara ini. 

Desa ini termasuk salah satu desa tua di Bali, ini disebut desa Bali Aga. Aku pribadi cukup senang untuk menghadiri acara adat masyarakat Hindu di Bali. Kalau ada kesempatan buat hadir, pasti menyempatkan diri untuk datang.

Tradisi ini diadakan tiap pertengahan tahun sekitar bulan Juni atau Juli dan dilaksanakan selama dua hari. Pada pelaksanaan perang pandan merupakan hari terpadat masyarakat desa Tenganan, karena pada hari itu masyarakat melakukan upacara terbesarnya. 


Meski darah mengalir ditubuh, suasana gembira masih tampak di wajah peserta.




Waktu itu aku berangkat dari Denpasar sekitar pukul 12 siang, aku menyaksikan upacara perang pandan pada hari kedua pelaksanaan. Pada siang hari terdapat upacara dan arak2an keliling desa, setelah itu sayup2 terdengar bunyi gamelan yang menjadi penanda perang pandan akan segera dimulai. 

Terdapat sebuah panggung setinggi 1 meter sebagai arena untuk melakukan ritual perang pandan. Sekitar pukul 2 siang semakin banyak orang berkumpul disekitaran arena, mulai dari yang ingin menonton sampai para peserta perang pandan. Peserta perang pandan adalah pria, mereka menggunakan pakaian tradisional seperti kamen (kain / sarung), udeng (penutup kepala), saput (selendang), dan tentunya tanpa menggunakan baju atau pakaian dibagian badan. 

Terlihat pula beberapa warga membawa tumpukan daun pandan yang telah diikat dan tameng ke atas arena. Dua komponen itu merupakan alat utama dalam melakukan perang pandan. Daun pandan ditumpuk menjadi 5-7 bagian kemudian diikat menjadi satu dan akan menjadi senjata untuk menyerang lawan. 

Sepertinya semua persiapan untuk melakukan ritual sudah selesai, sekitar pukul 2 siang perang pandan dimulai. Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan. Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga dapat turut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa





Tiap peserta diberikan satu ikat daun pandan dan satu tameng yang terbuat dari anyaman kayu sebagai pelindung. Mereka saling adu menggesekkan daun-daun pandan, mencari celah yang tepat untuk menyerang lawan. Perang dilakukan berpasangan yaitu sejumlah dua orang.

Jadilah “peperangan” jarak dekat. Misalnya dengan memeluk, adu cepat mencari celah tubuh lawan yang terbuka, dan lainnya. Sekitar 1 sampai 2 menit waktu yang diberikan ke tiap2 peserta perang pandan untuk beraksi menunjukan kecerdikannya menyerang lawan. Terdapat warga yang bertugas memisahkan atau menghentikan permainan jika dirasa sudah cukup atraksi dan perlawanannya.

Peserta perang pandan akan menari2, bagian ini bisa juga menjadi strategi untuk mencari celah dari lawan dan jika dirasa ada celah yang dapat diserang mereka langsung mendekat dan memeluk badan lawan sembari menekan daun pandan atau menggosok gosokan daun pandan ke tubuh lawan, bahkan terkadang dapat sampai berdarah.





Walau secara simbolis upacara ini menyerupai perang, tapi tujuannya bukan mencari menang dan kalah. Luka dibagian badan para peserta menjadi penghormatan warga desa Tenganan bagi Dewa Indra yang merupakan dewa yang sangat dihormati warga Tenganan. Badan berdarah2 sampai menetes akibat goresan pandan bisa juga diartikan sebagai persembahan kepada Dewa Indra, yang juga merupakan dewa perang. 

Di tiap akhir perang pandan, kedua peserta selalu bersalaman. Tidak tampak rasa benci atau marah tampak dari raut wajah mereka. Bahkan terkadang selama perang berlangsung mereka saling tertawa ketika menggosokan pandan ke tubuh lawan. Ditambah sorakan penonton dan suara gamelan yang menaikan temponya membuat suasana menjadi lebih semangat lagi. 

Tua muda ikut ambil bagian dalam perang pandan.



The beauty of Tenganan Village
Tradisi ini sudah menjadi hiburan bagi warga desa Tenganan dan masyarakat Bali pada umumnya, ditiap tahun penyelenggaraan perang pandan selalu di hadiri oleh ribuan penonton yang penasaran akan uniknya tradisi Mekare Kare. 

Tidak terasa sudah lebih dari dua jam acara perang pandan berlangsung, terlihat semakin banyak tumpukan daun pandan yang sudah digunakan berserakan di sekitar panggung. Tubuh peserta yang penuh luka dibiarkan sampai upacara ini selesai. Sekitar pukul 4 sore ritual perang pandan berakhir. 

Sedikitnya terdapat 50 lebih pasangan yang melakukan perang pandan pada hari itu.

Selesai acara perang pandan, dilanjutkan dengan makan bersama dengan para peserta.


Ramuan tradisional buat mengobati luka.
Setelah itu para peserta berkumpul untuk mengobati luka akibat goresan daun pandan menggunakan ramuan tradisional yang ampuh menyembuhkan luka, bentuknya seperti jamu kunyit. Tidak ada rasa sedih, karena mereka melakukan ini sebagai bagian dari ritual keagamaan. Tanpa rasa balas dendam, meski mereka saling menyakiti dengan pandan berduri.

Para peserta juga duduk bersama untuk makan bersama yang menunjukan rasa bersama atau lebih dikenal dengan istilah Megibung, kemudian berdoa bersama di pura. 

Sekitar pukul 5 sore aku baru jalan pulang dari desa Tenganan, lumayan lah masih menempuh jarak 70 kilometer lagi buat sampai kerumah, sing penting ki yakin! Hahaha.

Cheers, 

Comments

Popular posts from this blog

Bagan, Kota Tua Dengan Ribuan Kuil dan Pagoda (part 2-end)

Mandi Lumpur Dalam Tradisi Mebuug-buugan

Vintage and Boho Style, La Laguna