Mengejar Api Biru Gunung Ijen

Setelah beberapa postingan kemarin tentang Myanmar terus, agak sedikit variasi sekarang. Mari berjalan-jalan ke Banyuwangi, tepatnya di Gunung Ijen.

Fenomena ini hanya terjadi di dua tempat di dunia, Islandia dan Indonesia. Hal ini yang membuat saya bersemangat untuk kembali lagi ke Kawah Ijen untuk menyaksikan fenomena api biru. Ya, sebelumnya saya sudah pernah mengunjungi tempat ini, tetapi tidak dapat menyaksikan fenomena api biru dikarenakan saya memulai pendakian sekitar pukul 7 pagi pada waktu itu.
Beginilah suasana disekitar pusat titik api ketika menjelang pagi
Pengunjung bisa berada cukup dekat dari pusat titi api, asalkan tetap waspada ketika terjadi perubahan angin secara mendadak.
Gunung ini terletak Di Banyuwangi, Jawa Timur dan bisa dicapai dari arah Bondowoso atau Banyuwangi. Karena pada saat itu saya berangkat dari Bali, maka jalur terdekat untuk menuju Gunung Ijen adalah Banyuwangi dengan waktu tempuh sekitar satu jam setengah menggunakan mobil. Setelah melewati desa Licin, jalan menuju pos terakhir semakin menanjak dan harus berhati-hati apalagi jika suasana hujan.

Akhirnya saya sampai di Paltuding (pos terakhir sebelum pendakian) sekitar pukul 12 malam, dan memulai perjalanan pukul setengah satu dini hari. Saya akan menempuh perjalanan berpasir dan menanjak sekitar 2 jam untuk sampai ke puncak 2.368 meter di atas permukaan laut. Selama perjalanan saya ditemani oleh Pak Siam, seorang penambang belerang. Pada saat itu jalur pendakian sangat ramai pengunjung karena bertepatan dengan akhir pekan. Debu-debu berterbangan selama perjalanan mendaki, karena hujan belum juga datang di tempat ini.
Ada beberapa titik api biru pada saat itu yang dapat disaksikan secara langsung.
Pagi sudah mulai menjelang dan perlahan cahaya api akan dikalahkan oleh sang surya.
Jam menunjukan pukul 3.15 pagi. Akhirnya saya sampai dipuncak dan disambut dengan suasana berkabut tebal sehingga dasar kawah tidak tampak dan jarak pandang sangat terbatas. Setelah beristirahat sejenak, Pak Siam mengajak saya segera turun ke kawah untuk menyaksikan fenomena api biru dari dekat. Perjalanan turun ke kawah ditempuh sekitar 15 menit dengan kondisi track yang cukup curam yang hanya bisa dilewati 2 orang. Beberapa meter dari bibir kawah saya sudah bisa melihat cahaya berpendar warna biru diselimuti asap berwarna abu-abu.

“Berhenti disini sebentar pak” sahut saya kepada Pak Siam. Saya berdiri dalam kegelapan sekitar 20 meter dari titik api, sekedar berdiri dan melihat betapa indahnya pemandangan yang berada dihadapan saya saat itu. Cahaya senter dari beberapa pendaki membuat suasana disekitaran api biru menjadi lebih cantik sekaligus unik, seperti berada di dunia yang berbeda. Speachless. Akhirnya saya mendekat dan mengambil beberapa foto, Pak Siam menunjukan kepada saya tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat memotret tanpa harus mengganggu aktivitas penambang saat itu.
Pengunjung dapat menyaksikan dari atas puncak suasana danau dan kawah Ijen.
Belerang yang diletakan dipuncak Gunung dan siap untuk ditimbang.
Api biru terdapat di sebuah gundukan besar, diselimuti asap tebal dan sekilas tampak pipa untuk menyalurkan belerang agar mempermudah penambang dalam melakukan aktivitas menambangnya, nyala api tidak terlalu besar tapi sudah cukup menjadi pusat perhatian pengunjung pagi itu. Ada sekitar 5-6 titik api biru pada saat itu. Berhati-hatilah dalam melangkah jika berada didasar kawah, karena blerang yang menempel di batu sangat licin dan dapat membuat kita terpeleset.

Fenomena api biru di tempat ini memang sudah berlangsung sangat lama, hanya saja baru terkenal di kalangan wisatawan beberapa tahun terakhir. Pak Siam mengatakan, dulu wisatawan yang berkunjung kesini hanya untuk melihat sunrise karena Banyuwangi terkenal dengan istilah “sunrise pertama di Pulau Jawa” dan memandang kawah dari puncak. Tetapi sekarang mereka memilih untuk melihat api biru dan melanjutkan melihat sunrise di atas. Pak Siam menjelaskan fenomena api biru dipicu oleh terbakarnya gas metana oleh rembesan panas bumi. Untuk memantik api biru, temperatur dari perut bumi bisa mencapai ribuan derajat celsius. Keunikannya adalah, api ini ada setiap hari dan sepanjang malam. Pengunjung juga melihat fenomena ini dari jarak dekat.

Akhirnya saya berada di dalam salah satu kawah asam terbesar didunia. Air danau Kawah Ijen tidak dapat disentuh dengan tangan telanjang, karena tingkat keasamannya yang sangat tinggi dapat merusak kulit kita. Jangan lupa menyiapkan masker tebal yang sudah dibasahi dengan air ketika berada di sekitaran pusat api biru, karena asap yang dihasilkan dapat mengganggu pernafasan dan membuat mata perih. Perhatikan juga arah angin berhembus pada saat berada disana, karena mempengaruhi kemana asap belerang berhembus.
Suasana pagi dipuncak yang sangat ramai dengan pengunjung saat itu.
Aktivitas penambangan sudah mulai terlihat ramai pada saat itu. Tampak beberapa penambang berdatangan dan ada beberapa yang sudah siap naik kembali dengan belerang dipundaknya. Kata Pak Siam, Gunung Ijen memproduksi kurang lebih 20 juta ton belerang perhari.

Pukul 4 pagi. Suasana di kawah semakin ramai oleh pengunjung, dan membuat saya agak kesulitan untuk mengambil beberapa foto api biru sekaligus menikmati pemandangan didepan saya. Akhirnya saya memilih untuk naik sekaligus menyambut pagi dari puncak. Perjuangan berat berikutnya yang harus saya tempuh, karena jalur sangat menanjak ditambah banyak pengunjung yang turun dan berpapasan dengan penambang pada saat itu.

Dalam perjalanan ke atas saya berbincang dengan Pak Siam, ia mengatakan sudah 17 tahun menjadi penambang belerang di Gunung Ijen. Ayahnya dulu juga seorang penambang. Beberapa keluarga dekatnya juga menjadi penambang. Bisa dikatakan Pak Siam berasal dari keluarga penambang belerang Gunung Ijen. “Saya dulu pernah merasakan menambang dengan hanya bermodalkan obor, belerang dibayar 50 rupiah perkilo sampai sekarang dibayar sekitar 1000 rupiah perkilo mas” sahutnya. Sekali “menggendong” para penambang dapat memikul beban kurang lebih 70-100 kilo. Dalam sehari seorang penambang sanggup membawa sekali atau dua kali belerang.
Cinderamata yang terbuat dari belerang yang sudah mengeras.
Beginilah suasana Gunung Ijen setelah terbakar.
Setelah bercerita banyak selama perjalanan dari dasar kawah, tidak terasa sudah hampir sampai dipuncak lagi. Begitu saya menoleh kearah kawah, api biru perlahan mulai pudar dikalahkan oleh cahaya pagi. Suasana dasar kawah perlahan mulai tampak, warna hijau toska dari air danau dipadu cahaya langit biru, dan sedikit sinar matahari kuning, membuat pagi yang dingin menjadi hangat.

Saya minum dan berbagi snack dengan Pak Siam, sekaligus menikmati suasana puncak Gunung Ijen. Terlihat beberapa pengunjung berfoto dengan latar belakang kawah pada saat itu. Bagian puncak sangat lebar, dan dari atas sini pemandangan yang saya dapat tidak kalah cantik dengan dasar kawah Ijen. Tidak henti-hentinya saya berdecak kagum. Luar biasa.

Sekitar Pukul 7 pagi saya mulai turun. Sontak kekaguman saya beberapa menit yang lalu sedikit pudar. Pada saat perjalanan dari Paltuding Pak Siam sempat mengatakan beberapa minggu lalu hutan disini terbakar, jalur pendakian dan aktivitas penambangan ditutup. Karena pada saat itu malam hari saya tidak dapat melihat kondisi secara jelas, hanya melihat beberapa pohon didekat saya yang hangus terbakar.
Seorang penambang memikul belerang turun untuk ditimbang di pos. 
Ketika matahari mulai menyinari, pemandangan yang seharusnya hijau menjadi hitam. Ya, beberapa sisi gunung terlihat hangus oleh api. “Sudah lebih dari 7 bulan hujan tidak kunjung datang disini” Pak Siam mengatakan kepada saya. Hembusan angin kencang ditambah susahnya medan menjadi penyebab utama kebakaran menjadi meluas dan susah ditangani.

“Dulu pernah juga seperti ini mas, tapi pada akhirnya ketika musim hujan tiba pohon dan tanaman bisa tumbuh lagi” tambah Pak Siam. Mendengar hal tersebut dari beliau, saya menjadi sedikit optimis akan kembali hijaunya Gunung Ijen.

Matahari mulai meninggi, saya melanjutkan perjalanan turun kembali ke Paltuding dengan harapan akan banyak hal baik terjadi disekitaran Gunung ini, baik itu untuk alam maupun bagi masyarakat yang mencari rejeki disekitar Ijen.

Comments

Popular posts from this blog

Bagan, Kota Tua Dengan Ribuan Kuil dan Pagoda (part 2-end)

Mandi Lumpur Dalam Tradisi Mebuug-buugan

Vintage and Boho Style, La Laguna